Hoax, Definisi Hingga Ilusi Sufi

A hoax is a deliberately fabricated falsehood made to masquerade as the truth.[1] It is distinguishable from errors in observation or judgment,[1] rumors, urban legends, pseudosciences and April Fools’ Day events that are passed along in good faith by believers or as jokes.[2]
hoak
Definisi hoax di atas saya ambil dari wikipedia. Mungkin saking seringnya kata itu kita pakai dalam ucapan lisan maupun tulisan, sebentar lagi akan dimasukkan dalam KBBI (atau sudah?). Mungkin ada padanan katanya dalam litelatur bahasa Nusantara, mungkin juga akan digunakan panduan pembentukan kata serapan.

Pastilah kata itu akan menjadi [hoak] karena setahu saya tidak ada bentuk fonem [ax] dalam bahasa Indonesia. CMIIW.

Merujuk kepada definisi yang diberikan oleh wikipedia di atas, bisa diterjemahkan secara bebas bahwa hoax merupakan berita khayal. Ya, khayal. Yang tidak ada, diada-adakan. Atau sebagian memang ada, namun dibumbui sana-sini sehingga menjadi khayalan belaka.

Kalau dicari wujudnya, hoax seperti angin. Tidak tersentuh, namun imbasnya terasa. Kadang semilir yang dibiarkan berlalu, kadang seperti taifun yang merusak segala.

Pada tingkat paling imajiner, hoax kerap kali disembah layaknya Tuhan. Yang keberadaanya diyakini benar sampai ke relung kebatinan tiap insan. Seperti seorang sufi, yang memilih sendiri bercengkrama dengan Tuhannya. Pembuat hoax dan para penyebar hoax juga asik sendiri menikmati kesendiriannya bersama hoax.

Sayangnya, hoax hanyalah khayalan yang menyamar menjadi bentuk paling riil. Kalau ia sampai dikultuskan layaknya mengkultuskan seorang nabi atau wali, maka sejatinya penyembah hoax tak jauh berbeda dengan pengikut Dimas Kanjeng Taat Pribadi.

Tidak masuk akal, seperti karomah menggandakan uang yang dikatakan dimiliki Taat Pribadi. Benar-benar tidak masuk akal, terlebih sekarang zaman e-cash. Tapi nyatanya, banyak yang percaya dan membabtis dirinya sendiri sebagai pengikut Taat Pribadi, dari kalangan terpelajar sekalipun.

Samalah seperti hoax. Tidak masuk akal. Benar-benar muskil. Tapi banyak yang menuhankannya, termasuk kalangan terdidik yang sebagian waktunya dihabiskan untuk menggerogoti bangku sekolah. (Yusti Nurul Agustin)

Tinggalkan komentar